Marin

Luls
3 min readMay 16, 2023

--

Ballroom hotel siang itu dipenuhi dengan puluhan orang dengan dresscode hitam putih seperti yang diinginkan oleh sang pemilik acara. Beberapa orang diantaranya sibuk mengobrol sambil sesekali mendentingkan gelas yang ada ditangan mereka, ada yang berpose dan mengambil gambar bersama, dan ada juga yang fokus dengan makanan ditangan mereka sambil memperhatikan dua pengantin yang sibuk berpindah tempat untuk mengobrol dengan para tamu undangan.

Berbeda dengan tamu undangan lainnya, Marin justru sibuk menyapukan cat warna diatas kanvas putih yang setengahnya telah ia beri warna. Hari ini Marin datang sebagai tamu sekaligus wedding painter. Marin bukanlah pelukis handal, namun karyanya cukup membuat orang yang menerimanya sangat takjub dengan hasil akhir dari lukisannya.

Jarinya yang terampil sibuk memberikan detail pada gambaran dua pengantin pria yang saling berpegangan tangan dengan wajah yang sumringah dari keduanya.

“Lukisan lo sebagus ini, tapi kenapa nggak lo seriusin aja sih Rin?” Suara nyaring muncul dari belakang tubuhnya. Sosok itu makin mendekat dan kini berdiri sejajar disamping Marin. Vian, sahabat kecilnya sekaligus orang yang memberi ide untuk memberikan lukisan hasil karyanya ini sebagai hadiah untuk pernikahan teman mereka.

“Ya minimal lo ambil job tiap weekend gitu kek, kan nggak ganggu store lo juga.” Lanjutnya sambil memasukan sepotong buah semangka ke dalam mulutnya.

“Gue masih belom pede kalo harus ngejual lukisan kayak gini ke orang lain.” Balas Marin tanpa mengalihkan pandangannya dari lukisan di depannya.

“Masih belom pede apa mau merendah? Lo gak liat apa udah berapa banyak orang yang nanya kontak lo daritadi?” balasnya sedikit mengejek.

“Emang kamu yakin mereka minta kontaknya si Marin gara-gara lukisannya? Kali aja mereka mau deketin si Marin.” Suara berat yang terdengar familiar itu ikut menggoda Marin. River, pacar Vian yang kini menjadi temannya juga. Hal itu dikarenakan ketiganya terlalu sering hangout bersama, lebih tepatnya Marin menjadi nyamuk diantara keduanya.

“Ngaco lo berdua.” Balas Marin sambil menggelengkan kepalanya. Sudah jadi makanannya sehari-hari untuk mendengar godaan jahil kedua sejoli itu.

Marin melanjutkan kegiatannya, sementara dua sahabatnya tadi menghilang entah kemana. Setelah memberikan sapuan terakhir pada lukisannya, Marin memandangi kembali lukisan yang baru selesai ia kerjakan selama satu setengah jam terakhir. Merasa puas dengan karyanya, Marin meletakkan kuasnya dan meminta salah satu anggota WO untuk merapihkan peralatannya.

“Cantik lukisannya.” Suara berat seseorang terdengar dari samping Marin. Terlihat seorang laki-laki berbalut kemeja hitam yang bagian lengannya digulung sampai kebagian siku dan dipadukan dengan celana berwarna abu-abu. Dengan kedua tangannya yang terlipat di depan dada, laki-laki itu masih sibuk mengamati lukisan milik Marin.

“Thanks” balas Marin singkat diikuti dengan senyum tipis di wajahnya.

“Is this your daily job atau cuma kerjaan karena hobi?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari kanvas yang penuh warna di depan mereka.

“This is not my job, gue ngelukis cuma buat hadiah mereka.”

“Ah I see..” laki-laki itu hanya mengangguk paham dan melanjutkan mengamati lukisan milik Marin. Tidak ada percakapan lagi diantara keduanya hingga 10 menit berlalu. Laki-laki itu hanya berdiri di samping Marin dan sibuk mengamati semua orang yang hadir secara bergantian.

“Gimana mereka bisa yakin kalau orang yang mereka pilih itu orang yang tepat buat mereka?” laki-laki disamping Marin bergumam pelan. Atau mungkin lebih tepatnya ia tidak sadar bahwa apa yang ia gumamkan cukup bisa didengar Marin.

“From their feelings?” Marin menjawab asal sambil menenggak wine yang ada ditangan kanannya. Laki-laki itu terlihat kaget, tidak menyangka bahwa perkataan yang ia gumamkan dapat didengar oleh Marin.

“Feelings? Mereka bisa nentuin orang itu orang yang tepat atau enggak cuma dari sesuatu yang bisa berubah kapan aja?” balasnya dengan senyuman masam diwajahnya.

“Waktu gak ngerubah perasaan seseorang, perasaan bisa berubah kalau emang orang itu sendiri yang pengen ngerubahnya.” laki-laki itu hanya menatap Marin, seolah menunggu kalimat lanjutan yang keluar dari bibir Marin.

“Kalo lo percaya dan emang berniat buat ngejaga perasaan yang lo punya, lo pasti bakal ngejaga baik-baik perasaan itu. Tapi kalo lo mulai gak percaya dan gak ada niatan buat ngejaganya, lo bakal lalai. And end up perasaan itu bakal mati” balas Marin.

“Semuanya tergantung dari orangnya, lebih milih ngejaga atau gak peduli.” Laki-laki disampingnya hanya diam, tidak lagi melontarkan pertanyaan dari jawaban Marin.

“Kak Marin sorry, buat hasil lukisannya harus di packing kayak gimana ya kak?” Salah satu kru WO mendatangi Marin, yang menyebabkan keduanya tidak sengaja saling memandang.

“Biar aku aja yang packing” Marin meletakkan gelas wine yang ia pegang pada meja terdekat, lalu menoleh pada laki-lakinya disebelahnya.

“Glad to meet you” Marin berjalan menjauh meninggalkan laki-laki itu hingga punggungnya menghilang dibalik pintu utama Ballroom.

--

--

Luls
Luls

No responses yet